RUU P-KS Urgen, Harus Segera Disahkan

Unjuk Rasa Hari Perempuan Internasional di Bandung
DEMONSTRASOI: Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Simpul untuk Pembebasan Perempuan melakukan unjuk rasa saat peringatan Hari Perempuan Internasional di Bandung, Jawa Barat. (ANTARA/LINGKAR JATENG)

BANDUNG, Lingkarjabar – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan perwakilan Rakyat (DPR), Willy Aditya menilai, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sangat mendesak. Untuk itu, ia meminta agar segera mengesahkan RUU P-KS, karena semakin meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.

“Saya mencermati dari hasil dialog yang berkembang di Baleg, kenapa RUU ini mendesak. Karena secara statistik berdasarkan laporan Komnas HAM, angka kekerasan terhadap perempuan naik secara signifikan,” paparnya.

Menurutnya, kondisi saat ini, satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual sehingga itu merupakan situasi yang mencemaskan. Bahkan, kondisi itu berdasarkan catatan para pemerhati katakan, sudah masuk dalam situasi darurat kekerasan seksual dan angkanya dari tahun ke tahun terus naik secara fantastis.

“Apa kendala yang berikutnya selain fakta ini terjadi seperti fenomena gunung es. Kita masih belum memiliki peraturan perundang-undangan yang bisa menjangkau tindak kekerasan seksual ini. Karena waktu kita sangat terbatas sekali dalam proses menjangkau ini,” tegasnya.

Ia menjelaskan, RUU P-KS harus masuk dalam beberapa poin yang tepat agar tidak menjadi polemik dan perdebatan di masyarakat. Pertama, dalam pendekatan korban dan menggunakan prinsip keadilan restoratif sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban.

Kedua, menurut politisi Partai NasDem itu, perlu menggunakan perspektif penegakan hukum berdasarkan perspektif aparat penegak hukum itu penting. “Ketiga adalah edukasi, bagi kita dalam kultur yang masih feodalistik, itu dianggap ini masih tabu, masih saru, jadi ini yang perlu kita diskusikan,” imbuhnya.

Ia menyarankan, pembahasan RUU tersebut harus benar-benar hati-hati dan teliti dan mendengarkan aspirasi publik yang berkembang harus didiskusikan. Sehiungga, tidak terjadi benturan antara perspektif barat-timur, tradisi libertarian dengan ketimuran. (ara/dim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *